Pages

Wednesday, February 15, 2012

Fiksi Apalah #3

Awan konsentrasi yang susah payah kubentuk pecah akibat ajakanmu untuk makan bubur. 
“Ayo!“ jawabku cepat, padahal sudah lewat jam istirahat. 
Akhir-akhir ini aku jadi bandel, untung jam kantor fleksibel. Walah, memang candu punya pacar kamu. Tapi aku nggak peduli, yang penting kita hepi. Sejak seminggu kita jadian – yang lain berasa figuran.
Lift sampai di lantai dasar dan bergegas kutemui kamu di selasar. Terburu-buru kita jalannya mencar, biar nggak ada yang tahu kalau kita statusnya pacar. Aku di kiri, kamu di kanan, kalau udah jauh baru pegangan tangan. 
Tak lama kita sudah tiba, aku langsung pesan satu mangkuk buat dimakan berdua. Bukan karena irit atau lagi tanggal tua, tapi biar romantis aja kayak di drama Korea. 
(Emang mereka makan bubur? Bodo ah, jangan sok ngatur!)
Sambil makan, kamu berseloroh, “Bisa ngabur soalnya bos libur...“.
“Anak nakal“, kupukul pelan kepalamu pake sendok bubur. 
Kamu memang mahluk paling manis yang pernah kumiliki. Pengen terus kujaga, nggak rela disakiti. Kuakui nggak easy buat jadiin kamu kekasih. Sampe empat kali aku nyatain, baru kamu iyain. Kalo cowok lain mah, mungkin dah nyerah...tapi bagiku kamu itu tantangan. Naklukkin kamu itu suatu kemenangan yang hadiahnya berupa “kasmaran”.
Trrt...suara vibrate – ada pesan masuk. Kubaca tulisan di layar ponsel: “Sukriiiii, ntr mlm jd kn, kita? Pr3tti KANGEN”. Mukaku merah, aku jadi salah tingkah.
“Siapa, Kri?”, katamu. 
“Eh, enggak, bukan siapa-siapa...“ jawabku singkat lalu dengan cepat kuketik “Jadi. Sukri juga kangen Pretti“, dan kutekan tombol “kirim“.

Saturday, February 4, 2012

CCC (Clubbing Coba-coba)

Clubbing – kata yang harusnya terdengar sedikit menyeramkan, terutama paska tragedi Tugu Tani. Tapi apalah artinya berita tersebut dengan godaan untuk menikmati keduniawian bagi hedonis-hedonis yang memadati Equinox malam itu (Ha! Sengaja sebut merek biar nggak disangka ke klub abal-abal).
Adalah saya yang terbilang masih belia dalam hal perdugeman – karena frekuensi clubbing yang masih bisa dihitung dengan dua tangan – mencoba berbagi tempat dengan ratusan muda-mudi Jakarta berselera tinggi. Berbekal invitasi untuk dua orang yang hanya dipakai saya seorang, masuklah saya demi untuk mendapatkan pertanyaan dari si Mbak penjaga: “Mas, sendirian aja?“. Jleb-lah terasa di jantung ini...menurut, lo, Mbakkkkkkk???
Witsss, tunggu dulu, sebelum kalian komen macem-macem, perlu saya luruskan bahwasannya malam itu saya tidak sendiri, melainkan bersama beberapa jenis teman, hanya saja berhubung kita ganjil, logikanya harus ada satu undangan yang dipakai hanya satu orang. Betul, nggak? *hardly prove
Ok-lah, akhirnya setelah masuk dan dicap selayaknya sapi di penjagalan, kami masuk berbaris rapi dan mencari spot lapang untuk digoyang. Makin malam makin sepadat pasar induk di kala pagi buta. Enak juga menikmati “kebersamaan” dengan orang-orang tak dikenal, berteriak bersama saat DJ memainkan lagu yang pastinya bukan Cublak Cublak Suweng atau Ibu Pertiwi, pokoknya musiknya asik lah! Sejauh mata memandang kita bisa melihat sepenggal cuplikan situasi dunia yang biasa tergambar di buku-buku komik tentang kiamat. Terlihat wanita berjilbab yang asik merokok dan berbaur dengan non muhrimnya, terlihat banyak wanita muda (mudaaa banget) menyikat bergelas-gelas minuman which I believe, with alcohol. Ah, seandainya mereka lebih memilih ikut audisi girl band atau ngumpul dengan keluarga....bletak! lamunan saya dibuyarkan suara seksi Rohanna...lanjut jingkrakan lagi ahhh~!!! ^o^ *labil
Sayang sesi ajojing ini harus terbentur kendala mata yang makin perih – asap rokoknya, Cuy, kalah deh Mayasari Bhakti. 
Kalo nggak asik, harap maklum karena saya masuk ke dalam kelompok 2 dari penggolongan di bawah ini:
1. Kelompok Hedon – merokok aktif dan nenggak minuman beralkohol
2. Kelompok Syariah – nggak merokok aktif  dan nggak nenggak minuman beralkohol 
3. Kelompok Syariah Terkendali – nggak merokok aktif dan nggak nenggak minuman beralkohol berbayar alias kalo free flow, jadilah mereka tak terkendali
Berbekal mata ngantuk, perut lapar, dan bau rokok di sekujur, akhirnya kitapun meninggalkan ajang tersebut. Di perjalanan pulang (sambil tidur-tidur ayam) saya pun berpikir: ada yang berpendapat bahwa clubbing itu adalah bagian dari hidup mereka, suatu rutinitas. Bagi saya, clubbing itu adalah kegiatan olahraga untuk meluruhkan lemak, memompa jantung, dan melatih paru-paru sekaligus (sedikitnya) merusak paru-paru. Ini pasti nggak akan jadi agenda tetap saya, namun social experience value dan ajang untuk sedikit “let loose”-nya membuat CCC ini mungkin akan saya ulangi di beberapa pekan mendatang....