Pages

Sunday, March 31, 2013

Lain Kali



Macet...
Lewat 52 menit sudah aku duduk di sini – sudah mulai bosan. Di luar suara klakson dan deru mesin kendaraan makin seru terdengar. Mataku berkeliling, ada beberapa cewek yang duduk-duduk sendiri sambil smartphone-ing mukanya pada gusar. Kasihan. Macet emang bikin susah. Kenapa sih lebih milih janjian di sini – padahal banyak tempat yang aksesnya bebas macet? Apa karena supaya ada alasan untuk datang telat dan nganggurin ceweknya berjam-jam?

Jangan tanya aku karena aku nggak janjian sama siapa-siapa. Tapi jujur aja, aku nggak akan pernah ngebiarin cewek nunggu semenitpun karena mereka nggak pantas dibegituin. Cewek itu adalah mahluk ciptaan paling sempurna.

Udah mulai sepi...
Langkahku mengarah ke halte bus terdekat. Beberapa orang mulai berdatangan memenuhi halte. Nggak butuh waktu lama sebelum aku naik dan duduk di bagian belakang bis. Tumben bisa dapat tempat duduk, biasanya sih, bus rute ini selalu penuh sampai penumpang harus berdiri. Kulihat jam tangan, ternyata sudah pukul 9. Kira-kira satu jam lagi baru bisa menikmati mi instan sambil nonton berita malam, begini resikonya kalo rumah ada di tempat jauh. Suasana bis sedikit lengang, hanya ada sedikit suara cewek-cewek di depan sayup bercerita ngalor-ngidul sambil sesekali diselingi tertawa yang ditahan. Mereka kayaknya tahu kalo beberapa penumpang ada yang mulai tidur seperti bapak yang ada di belakang tempat duduk mereka atau pemuda dua baris di belakangnya lagi. Penumpang yang belum tidur lagi-lagi asik smartphone-ing, sambil kadang senyum sendiri, mungkin sedang baca cerita lucu, atau liat foto tagging hasil jalan-jalan liburan lalu.

Di luar mulai hujan...
Aku nggak begitu suka travelling. Bagiku traveling cuma sarana untutk membuang uang dan tenaga. Coba pikir, berapa banyak waktu dan tenaga terbuang saat merencanakan liburan. Pas liburannya, berapa banyak uang yang dihamburkan untuk tiket, hotel, akomodasi, makan, belum lagi beli oleh-oleh dan titipan dari ratusan orang yang seketika jadi temen dekat kamu. Selesai liburan, apa yang kamu dapat? Ngantuk, capek, dan kadang sakit. Lihat aja di kantor, rata-rata orang yang baru balik liburan pasti punya sindrom malas dan sebentar lagi ijin nggak masuk karena sakit. Traveling cuma akal-akalan dari pemerintah untuk meraup keuntungan dengan mengkeksploitasi negaranya sendiri.

Banyak hal yang jauh lebih menarik dari jalan-jalan – kopi, misalnya, atau … wanita dengan kaki langsing ber-stocking hitam dan high heels bermerek – sopan, gaya tapi tetap penuh misteri. Badan tipe model dibalut floral printed mini dress dan blazer hitam menunjukkan bahwa dia mengikuti trend tapi tetap professional. Suka baca, dan saking konsennya baca, punya kebiasaan memilin rambutnya yang wangi. Punya mata indah yang selalu disembunyikan di balik kacamata retro berbingkai penuh...

“Maroko.”. Suara lembut mengejutkanku.

“A..apa?”, jawabku gelagapan.

“Ini – dari tadi kamu ngeliatin ini kan?”, katanya lagi sambil menunjuk buku yang ada di tangannya.

Astaga!! Baru sadar sedari tadi aku sudah melototin atas-bawah cewek di sebelah ini.... ”Eh, maaf, maaf”, kataku cepat.

”Bulan depan aku mau ke sini bareng anak-anak. Rabat, Marrakesh, Fez, Casablanca”, lanjutnya sumringah, seolah nggak peduli. Manis banget...

”Buset, ambisius juga...ikutan tur?”, jawabku. Sejenak muncul rasa nyaman dan hangat.

”Nggaklah, kita free and easy aja, makanya perlu banyak belajar”, balasnya sambil mengangkat buku Lonely Planet yang sejak tadi dia baca.

”Kebetulan aku pernah ke Maroko, urusan kantor, sih, tapi bisalah bagi-bagi info buat bekal di sana. Sempat juga nyobain naek Onta di Sahara”, untuk pertama kalinya aku berterima kasih pernah dikirim tugas ke Maroko.

”Wah, ini namanya kebetulan!”, katanya sambil memasukkan buku dan kacamatanya ke dalam tas, lalu merogoh sesuatu dari tasnya. ”Ini!”, tangannya menyodorkan kartu nama sambil bangun dari tempat duduknya. ”Aku turun di sini. Oya, namaku Saodah, panggil aja Odah.”

”Michael!”, jawabku masih bengong memandang lenggok Odah yang berangsur menghilang seiring dengan bis yang makin menjauh meninggalkan halte barusan.

Singkat sekali percakapan barusan kayak iklan di program acara tv kabel. Ingin kukucek mata ini, memastikan tadi bukanlah mimpi namun aku ngeri bayangannya akan hilang, akhirnya kubatalkan niat itu. Argghhh, SIALLL!!!

Bis berhenti...
Kuinjakkan kaki dengan enggan ke ubin halte bis. Kuhirup napas dalam-dalam berikut wangi tanah paska hujan sebelum melangkahkan kaki menuju rumah. Sepanjang jalan, mataku fokus ke kartu nama Odah – ada perasaan aneh yang menggelegak nggak enak. Nggak mungkin kan langsung suka, nggak ada yang namanya cinta pada pandangan pertama. Entah kenapa, seolah kartu nama itu membawa wangi Odah, memanggil-manggil pantang menyerah kayak sales asuransi. Tulisan ”Saodah Wildblood – Marketing Communication”, berikut nomor telepon genggam dan alamat kantor terpampang megah di bawah logo perusahaan multinasional tersohor.

Menit-menit berlalu sejak kurebahkan badan di ranjang, kali ini kuacuhkan siaran berita malam dan rintihan microwave berisi mi instan yang telah masak. Mataku seakan masih haus informasi dari sebuah kartu nama yang sudah ratusan kali kubaca. Awan kekalutan itu masih menggelayut saat aku menjawab sebuah panggilan masuk di ponsel:

”Oh, udah di jalan? Hati-hati, Ma. Ini Papa udah di rumah...ok, love you more, Honey!”

Saat kuakhiri panggilan itu, seketika ada kekuatan baru menuntun kakiku ke kotak sampah untuk memberi kartu nama itu rumah baru, mengakhiri galauku.
Mungkin lain kali...