Pages

Saturday, January 21, 2012

Fiksi Apalah #2

I know you so well – more than I can tell. Biar aku nggak follow, tapi timeline-mu terpantau. Kemaren pagi kamu latian cheer, sorenya belajar nyetir, trus jemput kakak di Gambir. Untung kamu ga bisa liat siapa yang stalking. Kalo kedeteksi kan gawat, ntar aku yang pusing.
Aku yang handsome ini, terlalu gede di gengsi.
Sekarang kamu di depanku, kita ngobrol biasa sambil sesekali ngakak juga. Makasih buat DJ Nori yang udah kasih inspirasi sehingga leluconku dapat simpati. Belum juga larut, kamu sudah harus pamitan. Aku tau kamu anaknya nurut, tapi bukan berarti nggak bisa pulang malem, kan? Katamu besok ada kuliah, trus ngajak kakak muter-muter. Pengen komen: “Nyantai ajalah, nanti akang yang anter
Aku yang imut dan lucu, kenapa bisa kepincut dan naksir kamu? 
Emang muka kamu lumayan, tapi kayaknya karena chemistry kita yang jalan – gara-gara kamu aku mabuk kepayang, kali-kali aja kau juga sayang. Masalahnya aku terlalu gengsi, atau belum berani, buat bilang aku peduli dan bikin kamu jadi yang terkasih.
Kesempatan itu datang lagi, tapi kali ini kamu nggak sendiri. Sekarang kamu di depanku. Kita asik ngobrol sambil ngakak koprol. Eh, tapi bukan ceritaku yang bikin kamu terpaku. DJ Nori nggak lagi menarik hati – kalah jauh sama gurauan temanmu yang keputri-putrian. Ngerusak suasana banget ni monyet. Dasar kutu kupret…atau monyet, atau monyet kupret pake bikini. Bujug, jadi garang gini?
Aku yang penuh karisma, kenapa jadi posesif ya? 
Ahh...biarin “teman“ jadi status sementara, yang penting kamu bisa dekat saja....

Monday, January 16, 2012

Fiksi Apalah #1

Pukul 4 lewat. Duh, dah senja, kerjaan masih numpuk aja… Jalan menuju pantry seolah ber-fluorescence, ujug-ujug membujuk dengan opini yang make sense. Kucoba turuti “petunjuk” itu, lagian banyak gerak kubutuh. Melalui beberapa cubicle tak berpenghuni, baru nyadar, eh, orang kantor pada kemana nih? Cuma tersisa segelintir manusia yang berkutat di depan kompi dengan kuping tersumpal alunan mp3. Ehm, kalo diingat-ingat memang hari ini sedang ada meeting Head of Department dan…oya jelang long week-end~!
“(Keluh) kenapa yang terakhir bisa keingetan ya?“, sungutku sambil merogoh saku, mencari koin sisa jajan di kantin. 
Sampe sekarang belum ada rencana jadi untuk melewati long week-end nanti...ke pantai – musim badai, ke gunung – asma ini tak mendukung, ke bioskop – pelemnya pada out of scope! Eh, tapi alasan sungguh nomor satu karena mau cari suasana baru – inilah modus paska putus. 
Masih muram, kukaramkan tangan berkoin ke vending machine saat kudengar ada suara manis parah: “Milo anget, ya?“
Berasa iklan odol dengan target market anak muda gaol, aku terperangah demi mendapati raut sumringah sesosok jelita – semua dalam gerak lambat dan disertai bau wangi pekat.
Spontan kuulurkan tangan, “Hai, kenalin, Paimin“
Hanya butuh sekejap, tanganku telah didekap tangan terlembut kedua setelah tangannya Anisa Rahma, “Grace, anak Finance. Mas Paimin Muskan dari HR, kan?“
Widiiw, sontak berasa salah satu dari 7 aktor paling berkilau, aku berkicau: “Jangan panggil Mas, lah, cukup nama aja...“.
Tanpa sadar kutersenyum lebar. Ada hal menarik...yang menggelitik...asik!

Friday, January 13, 2012

Move on, dong, Beib!

Masochist cinta – menurut saya mereka adalah kelompok manusia terbodoh kedua setelah fans SM*SH yang nggak follow @SMASHBLAST. Sudah kebal telinga saya mendengar keluh kesah mereka tentang derita yang kesekian kalinya akibat ulah sang pacar. Sialnya, sinyal “akhiri saja” tak kunjung tertangkap syaraf otak mereka. Hubungan cinta di mata mereka adalah fluktuasi harga saham – di mana titik rendah berarti saat yang tepat untuk menambah investasi benih-benih cinta. Persistensi dan optimisme bahwa semua akan indah pada waktunya termakan poin “takut kehilangan“ yang patut kita kasihani.
Ada lagi yang sudah berhasil putus, tapi kini beralih menjadi sastrawan edan yang otaknya penuh inspirasi akan rangkaian kisah cinta bersama sang mantan. Lihat badut, ingat lucunya muka si mantan. Keinjek bangke, ingat betapa macho si mantan waktu neriakin sopir angkot yang nyalip sembarangan. Alih-alih hilang dari ingatan, si mantan tak teranulir malahan.
Putus itu bukan sekedar status, Kawan. Putus itu juga berarti melepaskan monyet yang selama ini bergantung di pundak kita, yang telah menghilangkan selera makan, yang merusak mood, yang menjadi penyebab teman-teman menjauh (and I’m not talking bout herpes) serta yang menjadi pemeran utama di mimpi buruk kita.
Sebagai (ngaku-ngaku) pakar di jalinan asmara, berikut saya coba berikan tips-tips moving on bagi kalian masochist cinta:
1. Bertindaklah…tanpa berpikir
Jangan pikir panjang untuk ngomong “putus” – ketakutan bukanlah partner yang tepat untuk diajak kompromi
2. Back to the future
Penuhi penanda kalender dengan rencana-rencana cuti, bukan anniversary
3. Headhunt
Percaya bahwa lebih dari 80% penduduk Jakarta mempunyai kualitas seorang pacar ideal dan percaya juga 90% dari mereka menganggap kamu tipe pacar ideal. Selanjutnya, tinggal cari komunitas baru, bongkar friendlist Facebook, atau ikut rombongan trip, ehm bisa juga lirik-lirik teman sebelah.
O ya, perkara ketemu atau nggak, itu urusan nanti. Hal terpenting fokuslah pada tipe yang kita idamkan, bukan tipe yang ada di sang mantan.
Disclaimer: seharusnya tidak ada pihak yang merasa tersinggung dengan tulisan ini, kalaupun ada, yah, sudahlah…move on, dong, Beib

Wednesday, January 11, 2012

First Bite

Halo! Selamat Datang!
Menurut seorang teman (sebut saja namanya Mawar), cita-cita untuk berkarir di dunia jurnalistik dan tulis-menulis harus berawal dari publikasi blog. Simak saja petikan percakapan membosankan kami:

“You’ve got to start somewhere, Dude! | Oh… | Udah pernah nyoba nulis? | Satu, ada di blog…sisanya ngedit buletin dan one liner… | Dicoba dong, niat dikitlah~”
Dari situ bisa disimpulkan (selain fakta bahwa Mawar orangnya dominan) memulai sesuatu tidaklah mudah, boro-boro menjaga konsistensi. Karenanya, saya menan…
Mawar: “Hey, hey…kalo ngomong terus, kapan mau mulai nulisnya nih? *mengibaskan pecut berbahan dasar daun pepaya gandul”
Hm, ok-lah, sebelum kalian mulai sign out dari blog ini, silakan menikmati tulisan pertama dari saya….*bergegas ke balik panggung sambil membawa award untuk kategori aktor terbaik
We’re judged by our cover – sedih memang, tapi itulah faktanya. Profile picture atau jenis krim yang dipakai adalah transparansi kepribadian kita. Kadang marah saat dicap “pemalu” karena kerap memajang foto bayi, binatang, kartun, atau foto diri yang diambil dari jarak jauh. Kadang sedih saat difitnah cuek hanya karena kulit bersisik. Saya sendiri kena vonis “miskin“ gara-gara tertangkap basah makan siang berlauk tempe – (mengernyit:) sejak kapan tempe dan nontempe menjadi hijab strata sosial? Bukannya keberatan dengan predikat “miskin“, tapi setahu saya sekarang batasan kaya dan miskin malah makin saru. Lha, yang katanya “orang kaya“ aja rela antri-bertaruh nyawa demi ponsel pintar diskonan, kok. Padahal dulu sih...dulu ya...“orang kaya“ paling alergi barang murah.
Balik ke masalah imej, pasti mau kan disebut-sebut sebagai "billionaire under 25", atau "diplomat muda layak kawin"? Saya sendiri dulu punya ambisi untuk jadi anggota boyband eksekutif muda, kerja di cubicle, dan dipanggil “Pak” oleh kolega. Pencitraan itu penting, dan kadang jauh lebih penting dari…ehm…harga diri. Kalau kamu naik pangkat dari hasil menjilat bos, misalnya, nah, itu yang saya maksud! Di suatu tim, biasanya adalah satu orang yang menurut kita nggak bagus-bagus banget, tapi bercokol di puncak klasemen suksesor si bos. Dialah yang selalu ingat ultah anaknya si bos, paling bisa bikin istri bos ketawa, dan sering terlihat akrab dengan sopirnya si bos. Terus, coba tebak siapa yang sering diajakin bos makan siang bareng? Singkat cerita, semakin kita berharap belangnya ketauan, semakin langgeng hubungan mereka berdua, dan makin bersinar pulalah karir beliau. Di kantor dia adalah rising star…
Mungkin aneh, tapi kalau menurut saya, hal ini wajar dan bisa dinamakan mekanisme pertahanan diri. On their defense, menjilat itu nggak gampang – butuh nyali dan keahlian khusus. Sama halnya kalau kamu bisa masuk PNS karena punya koneksi. Beruntunglah mereka yang punya “aset“ penting semacam itu, seberuntung manusia-manusia yang dilahirkan dengan keindahan fisik *ehem bercermin di selokan. Betapa tidak? Manusia ber-Papa Jenderal, Tante Dubes, atau Kakek Komisaris toh nggak banyak jumlahnya.
Anyway, kita kan tetap punya pilihan: aset tersebut mau dipake atau nggak?