Pages

Sunday, May 27, 2012

Budaya Kepo


Manusia itu terlahir kepo. Itulah yang diajarkan oleh guru Sosiologi saya…dan saya yakin, guru Anda juga. Ok, memang makna itu indikasi dari pernyataan “Manusia adalah mahluk sosial”. Kalau ditilik logikanya, mahluk sosial butuh interaksi, interaksi butuh perhatian, perhatian membutuhkan empati, dan gimana kita bisa empati kalau nggak punya pengetahuan tentang orang lain alias kepo? Di Indonesia, budaya kepo harusnya lebih kentara akibat katalis yang bernama “rasa kekeluargaan”, setuju?
Tiap generasi dan kelompok punya media khas untuk menyalurkan budaya kepo-nya: yang muda kepo di social media, yang professional kepo di kantor, yang ibu-ibu lebih parah lagi: bisa di twitter, di kantor, di tempat arisan, di hajatan atau bahkan waktu lagi ngumpul di tukang sayur. Selanjutnya, budaya kepo dimotivasi juga oleh keinginan untuk jadi trendsetter, jadi yang paling depan untuk tweet tentang Modus Anomali atau tentang Connor Maynard. Paling tidak, masuk kategori gaul-lah. Formula utama kepo masa kini tak lain adalah teknologi lewat gadget dan internet, to say the least.
Beruntunglah kita yang masih bisa menyaksikan dahsyatnya kemajuan teknologi meskipun di balik itu tersimpan tanggung jawab besar untuk dapat memanfaatkan teknologi tersebut secara positif, tentunya. Khusus generasi muda, tanggung jawab itu bisa berupa tugas untuk memelihara kelestarian warisan leluhur (baca: budaya). Percaya nggak percaya, tugas itu cukup mudah karena kita punya budaya kepo dan pengetahuan paling mutakhir seputar teknologi. Sebelumnya, berkaca pada diri sendiri; bangsa Indonesia punya predikat “The Capital of Twitterland”, “Trending Topic Maker” dan “4th Biggest Facebook User”. Sudah terbukti, sudah teruji, bangsa Indonesia merupakan angkatan di balik suksesnya Lady Gaga menjadi trending topik, atau penggagas gerakan “Unfollow Justin” yang membuat kali pertama saya bersyukur tidak dilahirkan sebagai Justin Bieber. Intinya Indonesia dengan mahluk-mahluk keponya merupakan salah satu motor penggerak branding nama-nama penting di dunia.
Nah, coba budaya kepo kita gabungkan dengan dua predikat itu lalu gunakan untuk cari tahu tentang budaya Indonesia, misalnya. Nggak hanya sampe di situ, tapi berlomba-lomba juga untuk jadi yang pertama nge-tweet fakta menarik tentang Ulos, tari Caka Lele, lagu Indung-indung, atau tag teman di FB note tentang kearifan lokal “Haram Manyarah – Waja Sampai Kaputing”. Masih ingat cerita sukses kala Indonesia menyebarkan ajakan untuk memakai batik serentak pada 2 Oktober untuk merayakan Hari Batik Nasional, hari di mana UNESCO mengakui batik sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia. Gerakan masif berbekal sosial media dengan budaya kepo sebagai benang merahnya.
Jadi, nggak ada salahnya kalo kita budayakan kepo untuk lestarikan budaya, kan?

0 comment(s):